Mengenai Saya

Foto saya
saya bukan siapa siapa, hanya lahir kedunia ini untuk bikin masalah,dan penyelesaianya,berlaku bagi stiap manusia,......menghadapi smua yang menghadang dan mengharap,keberadaan saya,kadang menyenangkan kadang menyebalkan,namun tidak berati saya akan bertahan dalam masalah yang akan menyebabkan kehancuran,keberadaan saya dimuka bumi ini,bukan kehendak diri,namun Illahi yang menentukan aku ada untuk membuat Masalah dan penyelesaian.dan paling benci dibilang Malas!!,...

Minggu, 13 Juni 2010

Menyelusuri Jedah,kota petualangan buat Kaburan TKI


  1. Jeddah merupakan salah satu kota terbesar di Kerajaan Arab Saudi, terletak di tepian laut merah. Sebagai kota dagang, Jeddah dilengkapi dengan fasilitas yang cukup memadai, mulai dari bandara, pelabuhan, kantor perwakilan negara dan lain sebagainya.

    Sebagai kota sentral perdagangan Jeddah di padati oleh banyak orang dari berbagai negara. Mulai dari Negara-negara tetangga di Timur Tengah, Afrika, Eropa, Amerika dan Asia termasuk Indonesia, sehingga menjadikan Jeddah sebagai kota kosmopolitan dengan berbagai kebudayaan. Selain itu, Jeddah juga merupakan tempat transit para jamaah haji dari berbagai Negara, inilah yang membuat Jeddah sangat padat pada musim haji.

    Berawal dari keingin tahuan yang lebih banyak tentang kota Jeddah akhirnya saya memberanikan diri untuk berkeliling menyusuri kota ini sambil mengisi waktu libur di hari jum’at.

    Kali ini, saya berniat berkunjung ke District Al-Kandariyyah yang terletak di Jeddah Bagian Utara. Selepas menikmati sarapan Tamis (Roti Arab) dan Sahi (teh campur susu), saya berangkat dengan menumpang Hafla alat transportasi favorit saya yang cukup dengan 2 real saja ke tempat yang dituju. Hafla merupakan kendaraan sejenis mini bus. Adapun Hafla yang kali itu saya tumpangi terlihat usang akibat kurangnya perawatan dari sang pemlik. Tanpa mukayyif (AC) ditambah suasananya yang kali ini memang terasa sesak karena penuhnya penumpang. Beruntung saya berangkat pagi hari, karena udara luar belum begitu panas dan para penumpang Hafla masih segar tanpa keringat, sehingga saya masih bisa menikmati perjalanan.

    Jeddah memang benar-benar pusatnya perdagangan. Selama di perjalanan hanya terlihat barisan kios-kios atau swalayan dan bahkan pasar tradisional. Menikmati itu semua, saya jadi kangen akan kampung halaman di Karawang, dimana jalan menuju rumah hanya menampilkan hamparan sawah yang luas sesekali diselingi perkampungan warga.

    Dua puluh menit sudah saya nikmati perjalanan dari tempat tinggal saya, akhirnya sampai juga di Suhaifa. Sebrang jalan Suhaifa sudah termasuk wilayah Al-Kandariyyah. Al-Kandariyyah atau Kandara terbagi dalam tiga kawasan yaitu kandara 1, 2, dan 3. Terlihat banyak bangunan hotel dan pertokoan berjajar di depan district ini, menutupi perkampungan yang sangat padat dan sedikit tidak teratur.salah satu kota terbesar di Kerajaan Arab Saudi, terletak di tepian laut merah. Sebagai kota dagang, Jeddah dilengkapi dengan fasilitas yang cukup memadai, mulai dari bandara, pelabuhan, kantor perwakilan negara dan lain sebagainya.

Sebagai kota sentral perdagangan Jeddah di padati oleh banyak orang dari berbagai negara. Mulai dari Negara-negara tetangga di Timur Tengah, Afrika, Eropa, Amerika dan Asia termasuk Indonesia, sehingga menjadikan Jeddah sebagai kota kosmopolitan dengan berbagai kebudayaan. Selain itu, Jeddah juga merupakan tempat transit para jamaah haji dari berbagai Negara, inilah yang membuat Jeddah sangat padat pada musim haji.

Berawal dari keingin tahuan yang lebih banyak tentang kota Jeddah akhirnya saya memberanikan diri untuk berkeliling menyusuri kota ini sambil mengisi waktu libur di hari jum’at.

Kali ini, saya berniat berkunjung ke District Al-Kandariyyah yang terletak di Jeddah Bagian Utara. Selepas menikmati sarapan Tamis (Roti Arab) dan Sahi (teh campur susu), saya berangkat dengan menumpang Hafla alat transportasi favorit saya yang cukup dengan 2 real saja ke tempat yang dituju. Hafla merupakan kendaraan sejenis mini bus. Adapun Hafla yang kali itu saya tumpangi terlihat usang akibat kurangnya perawatan dari sang pemlik. Tanpa mukayyif (AC) ditambah suasananya yang kali ini memang terasa sesak karena penuhnya penumpang. Beruntung saya berangkat pagi hari, karena udara luar belum begitu panas dan para penumpang Hafla masih segar tanpa keringat, sehingga saya masih bisa menikmati perjalanan.

Jeddah memang benar-benar pusatnya perdagangan. Selama di perjalanan hanya terlihat barisan kios-kios atau swalayan dan bahkan pasar tradisional. Menikmati itu semua, saya jadi kangen akan kampung halaman di Karawang, dimana jalan menuju rumah hanya menampilkan hamparan sawah yang luas sesekali diselingi perkampungan warga.

Dua puluh menit sudah saya nikmati perjalanan dari tempat tinggal saya, akhirnya sampai juga di Suhaifa. Sebrang jalan Suhaifa sudah termasuk wilayah Al-Kandariyyah. Al-Kandariyyah atau Kandara terbagi dalam tiga kawasan yaitu kandara 1, 2, dan 3. Terlihat banyak bangunan hotel dan pertokoan berjajar di depan district ini, menutupi perkampungan yang sangat padat dan sedikit tidak teratur.

jeddah arabDengan berjalan kaki saya menyusuri Kandara yang sangat padat dan ramai. Terlihat banyak orang berlalu lalang. Orang India, Bangladesh, Pakistan, Indonesia dan Arab menandakan daerah ini sudah banyak di huni oleh warga pendatang yang membaur dengan warga setempat.

Persimpangan demi persimpangan terlewati akhirnya sampai di persimpangan terakhir. Terlihat ada Baqala (toko) Indonesia, yang menandakan bahwa banyak terdapat orang-orang Indonesia yang bermukim di daerah ini. Saya pun mampir sejenak untuk membeli minuman dan membeli pulsa, karena saya hendak menelpon salah seorang teman yang katanya tinggal di daerah ini.

Sambil minum Asir (jus) Mangga yang saya ambil (beli) dari lemari es toko, saya berbincang sedikit dengan penjaga toko tersebut. Menurutnya banyak orang-orang Indonesia yang bermukim disini, terlebih yang kosongan (tanpa berkas resmi). Mereka sering berbelanja kebutuhan sehari di toko ini terlebih makanan Indonesia yang banyak terdapat di toko ini. Beberapa saat kemudian masuklah 3 orang wanita setengah baya menggunakan Abaya (baju hitam khusus wanita khas arab), lengkap dengan cadar. Terlihat hanya sorotan mata dari mereka.

Setelah mendapatkan barang yang mereka beli, mereka menghampiri penjaga toko untuk menanyakan berapa harga belanjaan mereka. Terlihat belanjaan mereka terdiri dari bahan masakan seperti beras, tahu tempe, sayuran, minyak goreng dan beberapa bumbu dapur, yang lainnya ada juga yang membeli peralatan mandi. Setelah selesai melakukan pembayaran mereka langsung berlalu pergi dengan barang belanjaan yang baru saja mereka beli.

Tersadar kalau saya harus menelpon teman, akhirnya saya pun memutuskan meneleponnya. Kebetulan dia lagi di rumahnya. Dia menyuruh saya untuk menunggunya di toko ini, karena dia akan menjemput saya di toko ini. Beberapa saat setelah saya telpon, dia pun datang menghampiri saya dan langsung mengajak saya ke rumahnya yang terletak tidak jauh dari Baqalah yang saya singgahi tadi.

Farid namanya, seorang teman yang berasal dari Sampang Madura. Dia adalah salah satu Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang melarikan diri dari Kafil atau majikannya, karena mendapatkan pekerjaan dan gaji yang tidak sesuai dengan kontrak kerja yang disepakati. ketika masih di PJTKI di Indonesia. Dengan beberapa orang lainnya, Farid tinggal di rumah kontrakan yang tidak begitu besar. Kontrakan itu dihuni oleh banyak orang, dengan tujuan untuk meringankan sewa rumah yang mereka keluarkan setiap bulannya.

TKI Indonesia di Jeddah ArabBanyak cerita-cerita sedih dan mengharukan yang saya dengar dari para penghuni rumah kontrakan. Dari beberapa orang penghuni rumah, ternyata ada salah seorang yang satu daerah dengan saya. Sebut saja Iyam seorang wanita 28 tahun yang sudah bekerja di Saudi kurang lebih 4 tahun, bahkan sudah 2 kali ganti majikan. Namun di majikan yang ke-3 setelah Iyam pulang kampung, Iyam berniat kabur karena tidak tahan dengan perlakuan majikan yang semena-mena yang akhirnya menghantarkan Iyam ke Jeddah dan bekerja disini. Demi anak dan orang tuanya Iyam rela kerja di Saudi karena suami yang Ia harapkan pergi meninggalkannya tanpa membiayai anak mereka yang tengah menginjak remaja.

Keasyikan berbincang, kami dihentikan oleh seruan adzan yang memanggil kaum laki-laki untuk melaksanakan Sholat Jumat. Dan kami bersegera untuk bersiap berangkat ke mesjid. Selepas sholat jum’at kami kembali ke rumah kontrakan, dan naluri perut sudah memanggil. Gendering-gendering usus sudah berbunyi, seiring otak dan hati yang juga sudah dengan kompaknya bernyanyi lapar. Tapi memang dasarnya sudah rejeki, rupanya hari itu ibu yang tinggal di rumah masak masakan yang cukup special yaitu semur jengkol, tempe oreg dan ikan asin. Menu ini benar-benar membuat genderang usus berbunyi tambah kencang. Kami pun makan bersama di tengah rumah dengan lahapnya apalagi Teh Iyam membuatkan saya sambal, akhirnya suasana pun jadi serasa ada di Karawang.

Walaupun tak ingin cepat-cepat keluar dari rumah itu, tapi juga tak ingin untuk berlama-lama karena merasa tidak enak dengan penghuni rumah yang lain. Akhirnya, selepas makan saya mengajak Farid untuk keluar mengantarkan saya berkeliling Kandara. Kemudian Farid mengajak saya berkunjung ke rumah temannya yang istrinya orang Sunda juga. Setelah berjalan kaki kurang lebih 15 menit, akhirnya kami sampai di rumah teman Farid yang masih berada di Kandara.

Lain dengan rumah kontrakan Farid yang dihuni oleh banyak orang, rumah temannya cenderung lebih rapi, karena memang hanya dihuni oleh 2 keluarga. Teman farid berasal dari Cirebon dan istrinya dari Bandung. Sebut saja Mas dan Eteh. Si Mas adalah orang resmi yang bekerja di pabrik karpet dan Si Etehnya orang kosongan yang lari dari majikannya. Mereka menikah di Saudi dan sudah menjalani rumah tangga selama kurang lebih 2 tahun. Mereka dikaruniai sepasang putra kembar yang diberi nama Hasan dan Husein yang berumur 8 bulan. Si Mas berniat memulangkan istrinya ke Indonesia karena sebagai seorang pekerja biasa si mas merasa tidak mampu membiayai kehidupan anak istrinya di Jeddah.

Dia bercerita, untuk membeli susu formula saja dia harus membelanjakan 900 real, padahal gaji yang dia terima tiap bulannya tidak mencapai 3000 real. Pada akhirnya niat Si Mas didukung oleh kebaikan si Eteh, akhirnya mereka sepakat. Namun karena Si Eteh ini adalah seorang kaburan terpaksa si Eteh harus pulang melalui Jalan Tarhil (deportasi). Sudah dapat saya banyangkan betapa repotnya Si Eteh pulang dengan 2 orang anak kembar yang masih berumur 8 bulan sendirian tanpa ditemani oleh suami.

Kota Jeddah Malam HariHari ini saya banyak mendapatkan pengalaman hidup dari mereka yang bisa saya jadikan catatan dan bahan renungan. Hidup itu memang tidak selalu indah, ada kesedihan dalam kebahagian, ada bahagia dalam kesedihan. Cinta dan cinta bisa berjalan beriringan sepanjang rasa syukur terpatri di hati kita.

Akhirnya, selepas Isya saya pulang ke Al-Wajereyyah (tempat saya tinggal) dengan membawa banyak cerita. Sebelum pulang, saya dan Farid mampir di warung sate yang terdapat di Suhaifa untuk makan malam. Selepas makan saya langsung bergegas menuju pemberhentian Hafla untuk kembali pulang. Lambaian tangan Farid menghantarkan kepulangan saya… Syukron ya akhi.!!

*) Warga Karawang, Kini tinggal dan Bekerja di Jeddah Arab Saudi
Facebook : http://www.facebook.com/profile.php?id=1416279539

Tidak ada komentar:

Posting Komentar